Rabu, 01 April 2009

Benarkah Injil membantah keilahian Yesus

Benarkah Injil membantah
Keilahian Yesus?
By: Leonardo W

Seringkali paham ketuhanan didalam iman Kristen dipertanyakan oleh orang-orang diluar kekristenan. Mereka sulit memahami bagaimana sebenarnya kerangka berpikir kekristenan tentang Tuhan. Pada sisi yang lain ada juga tanggung jawab bagi umat Kristen untuk memberikan pemahaman sekalipun terbatas mengenai apa yang diyakininya tentang Tuhan berdasarkan kesaksian Alkitab yang theopneustos/dinafaskan oleh Allah sendiri.
Apa yang diyakini oleh umat Kristen sepenuhnya berdasarkan kesaksian Alkitab yang menjadi satu-satunya sumber patokan iman yang secara paradosis/diteruskan tanpa putus diterima dari Rabbina ‘Isa Almasih yang kemudian diwariskan kepada para SheliahNya yang berjumlah dua belas orang yang kemudian diteruskan kepada GerejaNya sampai saat ini.
Diantara umat Kristen sendiripun harus diakui ada banyak ketidak mengertian tentang iman yang diyakininya, termasuk soal ketuhanan ini. Sehingga banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul baik dari dalam lingkungan kekristenan itu sendiri maupun diluar lingkungan kekristenan. Karena itu penting bagi umat Kristen untuk meningkatkan kualitas pemahamannya terhadap imannya sendiri meskipun tidak secara sempurna karena keterbatasan pikiran manusia.
Dibawah ini akan dibahas beberapa hal tentang keyakinan Kristen yang berkaitan dengan konsep Keilahian atau the divineship of Jesus Christ the Word of God yang berkaitan dengan nuzulNya sebagai manusia. Ada beberapa pertanyaan seputar hubungan antara keilahian dan kemanusiaan Rabbina ‘Isa Almasih.


Metodologi berpikir Ilmu Kalam

Sebelum memasuki lebih jauh pembahasan kita tentang bagaimana hubungan antara lahutiyah/keilahian dan nasutiyah/kemanusiaan Rabbina ‘Isa Almasih, kita perlu dahulu memahami bagaimana metodologi atau kerangka berpikir dalam ilmu kalam. Jika seseorang tidak memahami bagaiman kerangka berpikir Ilmu kalam dan mencampur adukkan dengan kerangka berpikir disiplin keilmuan yang lain maka akan terjadi kerancuan berpikir yang akhinya menjadi tidak sesuai lagi dengan tujuan ilmu kalam/teologi itu sendiri.
Ilmu Kalam/theology harus dipahami dengan kerangka berpikir ilmu kalam itu sendiri sehingga tidak terjadi benturan-benturan dengan disiplin berpikir keilmuan yang lainnya. Ilmu Kalam memahami dunia dan Tuhan sebagai suatu realitas kompleks yang bukan dipahami sekedar hitam putih. Hal ini berbeda dengan logika aljabar yang memahami disiplin ilmunya secara hitam putih. Misalnya 2 + 2 = 4. Dalam logika ilmu aljabar jawaban ini mutlak benar dan tidak dapat diganggu gugat lagi. Ilmu Kalam berbeda dengan ilmu Aljabar, termasuk ketika membicarakan Dzat/essensi Allah. Membicarakan tentang Mu’jizat juga tidak dapat dibicarakan dengan logika ilmu sains ataupun aljabar. Berbicara tentang filsafat ketuhanan dalam segala aspeknya harus menggunakan framework yang sesuai dengannya.
Dalam Yudaisme ketika tentang membicarakan tentang Tuhan dan Kitab suci dikenal ada 4 level pemahaman yang disingkat dalam sebuah kata pardes/taman.
Kata PARDES dalam bahasa Ibrani dieja tanpa huruf hidup yakni PRDS. Kata ini dalam sehari-hari berarti "taman" namun PRDS disini adalah sebuah singkatan (dalam Yudaisme disebut "notarikon") untuk:

[P]ashat ("sederhana")
[R]emez ("petunjuk")
[D]rash ("pencarian")
[S]od ("tersembunyi")
Ini merupakan empat level pemahaman. Setiap level adalah lebih dalam dan lebih intensif daripada level sebelumnya.
Pashat - adalah pemahaman harafiah (literal) terhadap teks kitab suci.
Remez - mengacu kepada makna yang diimplikasi di dalam teks.
Drash - merupakan pencarian makna terhadap penerapan allegori, tipologikal, atau homiletikal di dalam teks. Pencarian bisa dilakukan dengan membandingkan teks lainnya dalam kitab suci, literatur di luar kitab suci, dan sebagainya. Proses ini melibatkan eisogesis pada teks tersebut.
Sod - memahami pengertian tersembunyi, rahasia atau mistis dari suatu teks (Lihat I Kor. 2:7-16 khususnya pada ayat 7). Contoh teks yang membutuhkan pemahaman sod adalah Wahyu 13:18 yang menyatakan identitas Binatang dengan angka 666.
Sangat amat penting dipahami ketika kita membicarakan tentang ilmu Kalam atau ketuhanan, kita hampir selalu membicarakan hal-hal yang perlu pemahaman Derash dan Sod. Sehingga dalam Ilmu Kalam Yudaisme dikenal Istilah Eyn sof yang artinya tidak terbatas atau tidak terdefinisikan. Artinya adalah bahwa manusia tidak akan dapat membicarakan bagaimana Essensi Tuhan yang sesungguhnya. Manusia memiliki keterbatasan tertentu untuk berbicara tentang Diri Tuhan dalam segala aspek kemahakuasaanNya. Bagi disiplin ilmu Kalam hal ini wajar saja, namun didalam Ilmu Aljabar hal ini sulit dibicarakan. Sebenarnya tidak ada yang perlu dipertentangkan antara disiplin ilmu Teologi dan disiplin keilmuan yang lainnya.
Didalam Ilmu kalam Islam pun memahami ada hal-hal keterbatasan manusia yang meskipun hal itu sulit dipahami akal namun tidak lantas membuat kita tidak meyakininya. Dibawah ini saya tuliskan kutipan dari Kitab tulisan Syaikh Tahir bin Saleh Al-Jaziri yang berjudul Jawahirul kalamiyah. Kitab yang ditulis dalam bahasa arab dan tidak terlalu tebal ini membicarakan seputar keyakinan Islam mengenai Tuhan.
Demikian kutipannya:
S: Kaifa nutsbitu syai-an tsumma nuqul “kaifa fihi majhuulun?”
J: Haadzaa ghairu mustaghrobin fa inna na’lamu anna nufuusanaa muttashifatun bi shifaatin, ka ‘ilmi wal qudrati, wal iradatti, ma’a anna la na’lamu kaifiyyata qiyaami hadzihish shifaati biha, bal inna nasma’u wa nubshiru, wa laa na’lamu kaifiyyata hushuulis sami’a wal abshor. Bal annana natakallamu, wa la na’lamu kaifa shodaro minnal kalamu. Fa in ‘alimna syai-an min dzalika faqod ghobat ‘anna asyya’u wa mitslu hadza la yuhshoo. Fa idzaa kaana haadzaa fiimaa yudhoofu ilaina fa kaifa haali fiima yudhoofu ilaihi subhaanahu wa ta’ala.[1]
Demikian terjemahannya:
Soal: Bagaimana caranya kita menentukan sesuatu, lalu kita katakan: Tentang caranya , tidak diketahui?
Jawab: Hal ini ini tidak aneh. Sesungguhnya kita mengetahui bahwa didalam diri kita mempunyai banyak sifat, misalnya: mengetahui/ilmu, kuasa/qudrah, dan kehendak/iradah. Namun kita tidak mengetahui bagaimana sifat itu berdiam dalam diri kita. Bahkan kita mendengar dan melihat, tapi kita tidak mengetahui bagaimana kita mendapatkan pendengaran dan pengelihatan itu.
Kita berbicara namun kita tidak mengetahui bagaimana pembicaraan itu keluar dari kita. Bila hal itu telah kita ketahui, maka sungguh banyak hal yang kita tidak mengetahuinya.
Hal seperti ini amat banyak. Bila yang sedemikian ini terbatas dan kita tidak memahami, maka bagaimana keadaannya untuk menilai sesuatu yang disandarkan kepada Allah yang maha suci dan maha Tinggi?

Dengan kata lain dipahami oleh penulis buku ini bahwa didalam Ilmu Kalam ada hal-hal yang tidak bisa dipahami oleh akal manusia dikarenakan keterbatasannya, namun manusia tidak boleh menganggapnya hal itu mustahil untuk terjadi. Demikian juga ketika kita berusaha membicarakan seputar pribadi Tuhan maka kita akan berhadapan dengan sesuatu hal yang membuat kita tidak menemukan jawabannya secara logika keilmuan sains ataupun matematis. Berbicara tentang Tuhan adalah sebuah logika metafisis yang tidak boleh dipertentangkan dengan realitas fisik.
Didalam Alkitab jelas dikatakan bahwa Dzat/Hakekat Allah tidak dapat dipahami oleh siapapun. Dalam Injil Yoh 1:18 jelas dikatakan
اَللَّهُ لَمْ يَرَهُ أَحَدٌ قَطّ
Allahu lam yarohu Qath
Artinya:
“Tidak ada seorang yang dapat melihat Allah”
Yang dimaksud disini bukan sekedar melihat secara fisik saja. Namun mengarah kepada essensi Allah. Tidak ada manusia siapapun, termasuk para nabi besar siapapun yang bisa mengetahui essensi diri Allah. Allah hanya bisa dikenal sejauh Ia menyatakan diriNya kepada manusia.
Jadi jelas ketika kita berbicara tentang ilmu ketuhanan, terutama mengenai nuzulNya Firman Allah menjadi manusia, maka kerangka berpikir kita harus menggunakan logika metafisik, bukan logika martematis atau saintifik.

Memahami beberapa ayat-ayat
Yang sulit didalam Injil yang berkaitan dengan NuzulNya Sang Firman

Beberapa kalangan diluar umat Kristen sering menuduhkan bahwa sebenarnya Injil sendiri membantah ketuhanan Yesus. Tuduhan-tuduhan ini sebenarnya jika dipelajari lebih lanjut bisa timbul karena mereka memahami pernyataan Tuhan dengan logika saintifik atau matematis yang tentu tidak bisa diterapkan untuk memahami Allah yang Eyn sof/tidak terbatas. Jika seseorang Insyaf akan kemampuan Allah untuk berbuat apapun yang dinamakan kemaha kuasaan Allah, maka niscaya tidak akan perlu ada pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dibawah ini adalah ayat-ayat yang dianggap membatalkan klaim Keilahian Yesus:
Matius 26:39
Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."
Markus 14:35-36
Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya. kata-Nya: "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki."

Pertanyaannya:
Jika Yesus itu Allah, Yesus berdoa kepada siapa? Allah berdoa kepada Allah?

Jawaban:
Pertanyaan ini masuk akal jika mengukur Allah dengan logika matematis yang serba bersifat fisik dan terikat oleh ruang dan waktu.
Sebagaimana di awal makalah ini tadi saya katakan bahwa memahami pribadi Allah harus menggunakan logika metafisik yang melampaui ruang dan waktu.
Semisal dikatakan bahwa Allah ada dimana-mana atau maha hadir, bagaimana logika matematis dapat menjawab ini? Menurut logika matematika dan fisika sebuah benda materi tidak dapat berada di dua tempat secara bersamaan.

Ada beberapa jawaban yang bisa dikemukakan sesuai dengan data-data Alkitab. Yang pertama, Yesus berdoa adalah sebagai teladan bagi kita bahwa ketika menghadapi cobaan, ujian maka kita perlu datang berdoa kepada Allah sebagai satu-satunya pribadi yang sanggup melepaskan setiap umatNya dari segala cobaan apapun dan tempat kita berserah. Yesus menjadi model contoh bahwa Allah ingin manusia suka berdoa.
Kedatangan Yesus sebagai manusia memberikan teladan kepada manusia bagaimana manusia harus hidup di hadapan Allahnya. Ketika Firman itu menjadi manusia, maka Ia benar-benar mengambil tubuh manusia dan mengikatkan diriNya kepada keterbatasan jasmaniah seperti lapar, haus, letih. Demikian juga sebagai manusia yang juga adalah nabi dan hamba Allah, Dia memberikan teladan kepada manusia dalam ketaatan kepada Allah, termasuk dalam hal berdoa.
Rabbina ‘Isa juga pernah berkata dalam Injil Yohanes 13:15; “Sebab Aku telah memberikan sebuah teladan bagimu…”
Ketika Firman itu menjadi manusia Alkitab mengatakan bahwa Ia berkenosis atau mengosongkan diriNya. Apakah yang dimaksud dengan berkenosis? Kenosis adalah Allah lewat FirmanNya yang menjadi manusia memilih untuk membatasi diriNya dalam aspek-aspek tertentu atas keilahianNya untuk sementara waktu. Sehingga ketika Firman itu menjadi manusia Ia benar-benar adalah seutuhnya manusia yang juga berdoa kepada Allah dengan cara yang tidak dapat dipahami oleh manusia.
Yang kedua, untuk menjawab hal ini kita harus berhati-hati karena kita memasuki wilayah metafisik,dalam teologi Yudaisme dapat digambarkan kita memasuki wilayah penafsiran “Sod”. Artinya kita sedang mencoba melangkah kedalam misteri Pribadi Allah yang sangat sulit dijangkau oleh pikiran manusia kita yang terbatas. Patut dipahami sebelumnya bahwa Iman Kristen tidak
anti pengetahuan, namun juga tidak menjadikan akal sebagai yang diatas Allah.
Menariknya didalam Ilmu Kalam Islam sendiri ketika menjelaskan bagaimana hubungan antar kalam Allah yang temporal/kalam lafzhi dengan kalam yang kekal/kalam nafsi dengan istilah bila kaifa/entah bagaimana. Artinya ada aspek-aspek tertentu dalam iman yang menuntut untuk “percaya” saja tanpa mempertanyakan bagaimana caranya.
Para penulis Injil hanya menuliskan fakta-fakta saja tentang Yesus yang mereka kenal, bahwa Yesus yang mereka kenal selama ini adalah Firman Allah yang adalah Allah sendiri, tanpa perlu mempertanyakan bagaimana hubungan antara Roh Yesus dalam diriNya, bagaiamana pikiran Yesus sebagai manusia dan sekaligus sebagai (Firman)Allah.
Penulis Injil tidak merasa perlu untuk menutup-nutupi fakta tentang kemanusiaan Yesus dan berbarengan dengan itu pula secara tegas mengakui bahwa Yesus adalah Sang Firman yang adalah Allah sendiri.
Sehingga pertanyaan bahwa Injil mencatat Yesus berkomunikasi dengan Allah itu adalah sebuah pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan bagaimana caranya. Karena ini sudah memasuki wilayah Allah sebagai eyn sof yang tidak dapat didefinisikan dengan jelas secara akal manusia.Bukan tidak masuk akal, namun melampaui akal.
Para Penulis Injil pun tidak perlu menuliskan bagaiman kok Allah bercakap-cakap dengan FirmanNya sendiri. Ini adalah sebuah misteri yang luar biasa menakjubkan tentang kekayaan Pribadi Allah.
Alkitab hanya memberi kesaksian yang jelas bahwa Didalam Diri Allah yang Esa berdiam secara kekal Firman dan RuhNya. Namun Alkitab tidak memberikan penjelasan bagaimana hubungan metafisis personalitas Allah, Firman dan RuhNya didalam diri Allah. Alkitab hanya menjelaskan bahwa Allah menyatakan diriNya lewat Firnan dan RuhNya. Hal ini sangat jelas dan berulang kali dinyatakan disepanjang PL yang pada puncaknya pada nuzulNya sang Firman menjadi manusia yang mengemban misi khusus untuk keselamatan manusia.
Didalam Alkitab ada banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa Yesus adalah Firman Allah yang adalah Sang Pencipta itu sendiri. Didalam Alkitab ada juga banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa Yesus itu manusia biasa. Ayat-ayat yang menyatakan bahwa Yesus (Firman) Allah tidak boleh dipertentangkan dengan ayat-ayat yang menyatakan kemanusiaan Yesus. Hal ini sama seperti bahwa ayat-ayat yang menyatakan sifat Keadilan dan Kebenaran Allah tidak boleh dipertentangkan dengan sifat-sifat Rahim dan Rahmani dari Allah. Kedua sifat itu mutlak ada didalam diri Allah tanpa adanya pertentangan didalamnya.
Didalam Ilmu Kalam Islam pun memahami aspek ini didalam perwujudan Qur’an sebagai Kalam Allah. Tidak boleh dipertentangkan Qur’an yang temporal yang bersifat baru sekaligus dengan Kalam Allah yang Qadim/kekal yang berdiri di atas Dzat Allah yang Qadim.

Kesimpulan
Membicarakan Pribadi Allah memang adalah sebuah hal yang mustahil, tidak ada seorangpun yang mengenal Bapa. Namun sejauh Bapa menyatakan diriNya kepada kita demikianlah kita mengenal Dia. Rabbina’Isa Almasih adalah pernyataan diri Bapa yang terbesar kepada manusia.
Bagi Allah terpenting bukan soal kita mengetahui bagaimana misteri keAllahan secara sempurna, namun bagaimana kita mengikuti Ath- Thariq Al-masih/Jalan Kristus. Yang berkata : Anaa huwa ath-thariqu wal haqqu wal hayat, laisa ahadun ya’ti ilal Ab illa bii/ AKULAH JALAN DAN KEBENARAN DAN HIDUP, TIDAK SEORANGPUN DAPAT DATANG KEPADA BAPA TANPA MELALUI AKU.
Mari kita bersyukur memiliki Pribadi Allah yang luar biasa yang mengatasi akal kita. Allah yang mengatasi akal kita itulah Allah yang justru masuk akal. Karena kalau Dia tidak mengatasi akal kita alias tidak maha kuasa maka sangat sangat tidak masuk akal bagi kita bisa datang menyembah Dia. Buat apa kita menyembah Dia jika Dia dapat juga kita tundukkan dengan pikiran kita. Amiin?!
Mari kita nikmati kemaha besaran PribadiNya yang mampu melakukan apa saja yang mampu dibayangkan oleh pikiran kita. Justru karena Dia luar biasa maka Dia mampu menjawab pergumulan kita yang diluar pemikiran kita.
Ada sebuah ayat yang saya ingat didalam Injil Yohanes 20:31 yang berbunyi demikian:
“tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.
Jadi jika dilihat secara keseluruhan, meskipun konteks ayat ini pada Injil Yohanes, namun dapatlah juga kita generalisasikan untuk keseluruhan Alkitab, bahwa tujuan dari penulisan kitab-kita itu pada akhirnya untuk membawa diti kita percaya bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Allah yang akhirnya boleh membawa kita memiliki kehidupan kekal.
Kita boleh membuat perumusan-perumusan iman tentang pribadiNya, namun yang perlu diingat adalah jangan sampai membatasi Allah dengan perumusan itu. Karena sesungguhNya Dia adalah EYN SOF.











Addendum

Kitab Jawahir kalamiyah:
S : Hal yajuzut takallumu fii dzaatihi ?
J : La yajuuzut takallumu fii dzatihi ta’aala bil ‘aqli lianal aqla qaaqhirun ‘an idraki dzaatil khaliqq subhanahu wa ta’ala, fa kullu ma khothorobiyalika fallahu bi khilafi dzaalika.

Artinya:
Soal : Apakah diperbolehkan berbicara tentang Dzat Allah ta’ala dengan akal?
Jawab: Tidak diperkenankan berbicara Dzat Allah ta’la dengan akal. Sebab akal tidak mampu untuk mengerti Dzat Sang Pencipta Subhanahu wa ta’ala. Maka setiap apa yang terlintas dihatimu, sesungguhya Dzat Allah tidak begitu.

S : Idza kaana l-‘aqlu la tudriku dzatihu ta’ala fa kaifa wushuulu ila ma’rifatihi ta’alaa ma’a annal ma’rifata wajibatun ‘ala kullu ahadun?
J : Inna ma’rifatahu ta’ala tahshulu bi ma’rifati shifatihi minal wujudi wal qidami, wal baqa’I wal mukhalafatihi lil hawaaditsi wal qiyaami bi nafsihi wal wahdaniyyati wal hayati wal ‘ilmi wal qudrati wal iradati was sami’I wal bashori wal kalam.
Artinya:
Soal: Bila akal kita tidak mampu memahami DzatNya ta’ala, maka bagaimana seseorang bisa mengetahui Allah. Padahal mengetahui Allah diwajibkan atas semua orang.
Jawab: Sesungguhnya mengenal yang Maha tinggi bisa diketahui dengan shifatNya seperti misal Wujud, yang terdahulu,kekal, tidak sama dengan makhluk, berdiri sendiri, Maha Esa, Hidup, Ilmu, kuasa, berkehendak, mendengar,melihat dan berfirman.
Catatan:

Ada catatan menarik mengenai sifat Allah yang mukhalafatuhu lil hawadits yang berarti tidak boleh dipersamakan dengan makhlukNya. Artinya jika Allah melalui FirmanNya menjadi manusia dan kita mendapati ada hal-hal yang coba kita ukur dengan ukuran manusia sesungguhnya hal itu tidak benar. Karena Allah tidak dapat diukur dengan ukuran manusia. Seperti missal ketika Yesus berdoa, Yesus berdiri disebelah kanan Allah dan lain-lain. Maka kita menjawabnya tentang caranya bila kaif/entah bagaimana.
Cara-cara diatas tidak kita ketahui namun toh begitu nyata juga. Sehingga pernyataan diriNya yang adalah (Firman) Allah sendiri tidak dapat dibatalkan karena keterbatasan pemikiran kita. Wallahu a’lam.










[1] Kitab Jawahirul kalamiyah karangan Thahir bin saleh al-jazairi. Didalam kitab ini banyak dituliskan bagaimana seorang muslim dengan keterbatasannya untuk memahami Allah yang tidak terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar